Mengingat Kembali
SEJARAH BERDIRINYA
GEREJA KRISTEN JAWA PUGERAN
Minggu Wage, 31 Oktober 1999, bertepatan hari Reformasi
Gereja, Jemaat Pugeran yang merupakan pepanthan dari GKJ Watusigar, bersama
pepanthan lainnya, yaitu: Semin, Sumberejo, Candirejo, Sempu dan Payaman
didewasakan oleh Majelis GKJ Watusigar untuk menjadi Gereja Dewasa dengan nama
GEREJA KRISTEN JAWA PUGERAN.
Dengan peristiwa pendewasaan
tersebut jemaat Pugeran memulai kehidupan yang baru sebagai gereja dewasa yang
telah memiliki Majelis sendiri dan harus mampu menanggung semua jenis tanggung
jawab dalam hal Pekabaran Injil dan pemeliharaan warga gereja serta mampu
menyelenggarakan organisasi gerejanya sendiri yang terpisah dari gereja induknya
yaitu GKJ Watusigar. Inilah sejarah
Gereja Kristen Jawa Pugeran.
1.
Jemaat Mula-mula ( Tahun 1928 – 1980 )
a.
Mukjizat Kesembuhan oleh Seorang Dukun
Diawali dengan mujizat
kesembuhan seorang anak yang bernama Mardi. Sepulang dari menggembalakan sapi, sebelum
semua sapinya masuk kandang ia mengalami kejang-kejang dengan mulut berbuih.
Penyakitnya itu sering kambuh dan segala daya upaya telah dilakukan, termasuk
minta pertolongan kepada dukun tetapi hasilnya nihil, anak itu tidak kunjung
sembuh.
Kertodikromo dan Surem, kedua
orangtuanya sudah pasrah melihat keadaan anaknya yang nomor dua itu. Dalam
situasi bingung itu mereka mendengar berita bahwa di Wuryantoro ada seorang
dukun yang bisa menyembuhkan orang sakit. Mereka pun datang ke Wuryantoro minta
pertolongan kepada dukun tersebut dan memohon supaya ia berkenan datang di
Pugeran untuk menyembuhkan anaknya.
Dukun itu bernama Mangun Suwito yang lebih dikenal dengan
panggilan mbah Lurah Bethek, sesuai dengan nama dusun tempat ia tinggal yaitu
di Bethek wilayah Wuryantoro,
Wonogiri. Beliau oleh masyarakat dianggap sebagai orang pinter. Masyarakat
sekitar menganggap ia adalah seorang dukun, orang yang mempunyai kemampuan linuwih mampu menyembuhkan orang sakit
dan mempunyai banyak ilmu.
Mangun Suwito
berkenan hadir di Pugeran, untuk menyembuhkan Mardi. Dengan mengucapkan doa ia berkata kepada anak yang sudah
tiga hari tidak makan dan minum itu, “Bangunlah nak!”. Orang-tua Mardi
heran melihat cara yang dilakukan dukun itu. Mereka semakin kuatir akan keadaan
anaknya yang semakin kritis. Bahkan mereka
sempat meragukan kemampuan sang dukun.
Cara yang dilakukan Mangun Suwito memang berbeda dengan cara
penyembuhan yang dilakukan oleh dukun-dukun lainnya pada masa itu. Mangun Suwito ini tidak menggunakan
jampi-jampi atau mantera-mantera. Juga tidak membakar kemenyan seperti lazimnya
cara praktek seorang dukun. Dukun dari Bethek,
Wuryantoro ini menyembuhkan dengan doa dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Ternyata
Mbah Lurah dari Bethek ini adalah orang Kristen.
Setelah diobati oleh
dukun tersebut Mardi menjadi sembuh.
Mukjizat telah terjadi.
Karya penyelamatan Allah dinyatakan melalui seorang dukun. Penyakit Mardi tidak pernah kambuh lagi, ia
mengalami kesembuhan secara total. Karena terharu dan terkesannya orang tua Mardi terhadap peristiwa kesembuhan
anaknya, ia kemudian menyerahkan Mardi
kepada Mbah Lurah Bethek untuk diakui sebagai anak angkat.
Kertodikromo dan Surem
menjadi penasaran dan bertanya-tanya, apakah gerangan ilmu yang dimiliki Mangun Suwito itu. Kertodikromo dan Surem, isterinya lalu mencari tahu dan berguru
kepada Mangun Suwito. Mereka berdua
akhirnya mendapat pengajaran agama Kristen dari Mangun Suwito. Kardin, kakak dari Surem isteri Kertodikromo,
akhirnya juga bergabung untuk berguru kepada Mangun Suwito setelah mendapat ajakan dari orang tua Mardi tersebut. Pengajaran dilakukan di
rumah Kertodikromo, Pugeran.
Dari dua keluarga ini,
yaitu keluarga Kertodikromo dan
keluarga KardinMartodikromo, Injil
bertumbuh dan berkembang di wilayah Pugeran. Kertodikromo mempunyai enam orang anak, yaitu Wongsodikromo,
Mardisiswoyo (yang mengalami kesembuhan), Paiman
Martoatmojo, Samikem Pranotosiswoyo, Sami
Resopawiro, Kasih Purwowiyonoyang kesemuanya menjadi orang Kristen.
b.
Bertobatnya Seorang Dukun Sakti
Peristiwa kesembuhan seorang anak itu menjadikan orang
Pugeran tetarik untuk berguru kepada Mangun
Suwito. Demikian juga ada seorang dukun yang bernama Kardintertarik untuk berguru untuk memperdalam ilmunya.
Selain dikenal sebagai
dukun ia adalah seorang tokoh yang sangat disegani masyarakat Pugeran dan
sekitarnya karena suka menolong melalui ilmu yang ia miliki. Bahkan dengan cara
aneh. Untuk menolong masyarakat sekaligus untuk membuktikan kesaktian ilmunya,
ia tidak segan-segan sering melakukan pencurian terhadap orang-orang kaya.
Hasil pencurian itu tidak dimanfaatkan sendiri, melainkan dibagi-bagikan kepada
orang-orang yang membutuhkan, yaitu mereka yang miskin. Karena kebiasaannya ini
Kardin dikenal juga sebagai Maling
Gentiri, sebutan orang Jawa untuk orang yang melakukan pencurian bagi
kepentingan sesamanya.
Keinginannya untuk selalu menjadi nomor satu dan
paling digdaya dalam ilmu akhirnya
membawa Kardin tertarik belajar
kepada Mangun Suwito, seorang dukun
yang ia kenal dari peristiwa kesembuhan Mardi.
Kardin pun belajar dan menjadi murid Mangun
Suwito. Ia bersama beberapa orang Pugeran lainnya mulai belajar ilmu dari Mangun Suwito.
‘Ilmu’ yang diajarkannya
ternyata ilmu berserah diri penuh dan percaya kepada Tuhan Yesus Kristus.
Pokok-pokok yang diajarkan kepada murid yang berguru untuk dipegang teguh
adalah Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman
Rasuli, Hukum Kasih dan Hukum
Sepuluh.
Sejak belajar ilmu baru ini, Kardin menemukan ilmu yang benar-benar
sakti.Beliau menamakan sebagai ilmu sejati. Semua ilmu yang telah dimiliki
ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan ilmu yang bersumber Kitab Suci yang
diajarkan Mangun Suwito. Ia mulai
mendalami ilmu yang baru ini. Dan ia pun bertobat dan percaya kepada Yesus
Kristus. Hidupnya berubah. Semua ilmu yang lama dibuang karena telah menemukan
ilmu yang sejati. Bagi Kardin sekarang
sumber dari segala ilmu adalah Yesus Kristus dan Kitab Suci. Ia bersama Kinem,
isterinya serta anak-anaknya menjadi Kristen. Anak dari Kardin adalah Kadil, Nurhadi,
Samadi, Mento Kusi, Kasman, Kasno, Musa dan Katin Subyantoro.
Walaupun sudah menjadi Kristen,
Kardin pada masa tuanya bernama lengkap Martodikromo, tetapi lebih dikenal dengan nama Marto Kadil, tetap senang menolong
sesamanya. Dari seorang dukun sakti
berubah menjadi menjadi dukun yang bersaksi tentang Kristus. Ia bersaksi dengan
kemampuannya menyembuhkan orang yang sakit dalam nama Yesus dan mengusir setan
dari tempat-tempat yang dianggap keramat oleh masyarakat pada waktu itu.
Setelah bertobat
ia berhenti dari kebiasaannya mencuri. Marto
Kadil tidak ingin lagi membuktikan kehebatan ilmunya sendiri. Sekarang ia
membuktikan bahwa ilmu sejati, yaitu
Yesus Kristus itu yang paling hebat. Marto Kadil
mendidik dan mengajarkan kepada anak-anaknya tentang saktinya Yesus Kristus.
Dialah yang mulai mengembangkan kekristenan di Pugeran dengan talenta yang
dimilikinya.
c.
Cikal Bakal Jemaat Pugeran
Murid Mbah Lurah
yang mula-mula hanya keluarga
Kertodikromo dan keluarga Martodikromo
semakin banyak. Ada delapan keluarga lagi yang mengikuti pelajaran agama
Kristen yang dilakukan Mangun Suwito
di rumah Kertodikromo. Mereka itu
adalahTarjo, Kromontika, Singo Drono,
Sopawiro, Karsomo, Sodikromo, Mentodikromo dan Merto Menggolo. Mereka
inilah yang menjadi cikal bakal Jemaat Kristen di Pugeran.
d.
Pengasuh Mula-Mula
Jemaat Kristen Pugeran tumbuh dan
berkembang atas bimbingan para guru Injil yang saat itu mempunyai peran sangat
besar.
Guru Injil yang pertama
yang melayani di Pugeran adalah Atmo
Suwito dari Watusigar. Kemudian
diganti oleh Dirdjo Supono dari Kulonprogo.
Guru Injil Pranoto Hadi dari
Pakem adalah yang keempat. Yang kemudian
diganti oleh Rekso Atmodjo juga dari
Pakem pada tahun 1940. Pada tahun 1946
Sapari dari Yogyakarta menggantikan Rekso
Atmodjo. Setelah itu Padmo Wihardjo
dari Wiladeg menjadi guru Injil di Pugeran sampai tahun 1948 yang kemudian
diganti oleh Singkir dari Candi,
Karangmojo.
Sejak tahun 1950 tidak
ada lagi guru Injil yang melayani jemaat Pugeran. Pelayanan dilanjutkan oleh Pranoto Siswoyo, seorang guru SD asal Wuryantoroyang mengajar di SD Negeri
Rejosari. Ia tinggal di Pugeran di rumah Pranoto
Hadi guru Injil ketiga Pugeran, yang adalah kakak iparnya. Pranoto
Siswoyo berasal dari
Wuryantoro. Awalnya ia belum menjadi Kristen. Ia menjadi Kristen setelah
tinggal di rumah Pranoto Hadi. Pranoto Siswoyo ini akhirnya mempunyai
isteri asal Pugeran, anak yang ke empat Kertodikromo
yang bernama Samikem.
Pada masa itu pelayanan firman seminggu sekali. Kebaktian
Minggu dilakukan di rumah warga jemaat, yaitu di rumah Kertodikromo, orang tua Mardi.
Pelayanan Perjamuan Kudus tiga bulan sekali dan dilayani oleh Pendeta asal
Belanda yang bernama Van Allard dari
Yogyakarta. Karena kondisi geografis saat itu Pugeran masih sulit dijangkau.
Perjamuan Kudus sering tidak dapat terlaksana, Pendeta tidak dapat sampai di
tempat ibadah, karena terhalang aliran Sungai Gerang yang bila musim hujan
sering banjir.
Dengan peristiwa
di atas dan juga adanya kerinduan jemaat akan pentingnya pelayanan firman dan
Perjamuan Kudus, timbullah pemikiran untuk membuat tempat ibadah di sebelah
barat Sungai Gerang supaya Pendeta tidak terhambat pelayanannya.
Ada seorang jemaat yang
bernama Merto Menggolo, anak dari SutoMenggolo, lurah yang pertama di Karangsari, yang mempersembahkan sebidang
tanah yang terletak di Dusun Kerdon, sebelah barat dusun Pugeran. Ia berharap
di tanah itu dapat dibangun gedung gereja dan rumah tinggal bagi guru Injil
yang melayani di Pugeran. Suatu saat Merto
Menggolo melakukan tapa ngebleng
di tempuran sungai Oyo dan sungai Gerang selama seminggu. Setelah selesai bertapa ia menebangi beberapa pohon
kelapa untuk membangun gereja. Apa yang ia lakukan ini sangat mengejutkan,
orang mengira ia tidak waras. Ia mengambil keputusan secara tiba-tiba.
Kerinduan untuk
mendapat pelayanan yang maksimal terutama pelayanan perjamuan kudus mendorong
jemaat untuk membangun tempat ibadah. Di tanah yang dipersembahkannya Merto Menggolo bersama jemaat bergotong
royong membangun tempat ibadah. Dan berdirilah sebuah tempat ibadah darurat
dari kayu berdindingkan gedhek.maka
lancarlah ibadah minggu dan perjamuan kudus. Sementara itu untuk tempat tinggal
guru Injil didirikan sebuah rumah di belakang gereja. Rumah ini persembahan
dari keluarga Kertodikromo.
e.
Bergabung Dengan GKJ Watusigar
Pada awalnya
jemaat Pugeran adalah bagian dari wilayah pelayanan GKJ Wonosari. Sehubungan
dengan masuknya Kecamatan Ngawen menjadi wilayah Gunungkidul pada tahun 1957
dan bergabungnya GKJ Watusigar dengan gereja-gereja di Gunungkidul pada tahun
1959, ada pembagian wilayah pelayanan. Pugeran
dan Tambran yang merupakan pepanthan dari GKJ Wonosari dimasukkan ke
dalam wilayah GKJ Watusigar. Sejak saat
itu pepanthan Pugeran menjadi bagian dari GKJ Watusigar, demikian juga dalam
pelayanannya.
Pada tahun 1970
GKJ Watusigar memanggil pendeta yang bernama Sugeng Dwi Sindu Prayitnoyang berasal dari Tanjung Tirto. Beliau
inilah yang meneruskan pekabaran Injil di wilayah Pugeran dan sekitarnya.
Hanya satu tahun
Sugeng Dwi Sindu Prayitno menjadi
pendeta GKJ Watusigar. Berpindahnya pendeta menjadikan kurangnya pemeliharaan
iman jemaat. Akibatnya sebagian jemaat ada yang meninggalkan gereja dan kembali
kepada kepercayaan yang lama.
Setelah empat
tahun tidak berpendeta, pada tahun 1975 GKJ Watusigar memanggil Otniel Ngatiyus Wignyo Nugroho, asal
Watusigar menjadi Pendeta. Beliau ini yang meneruskan penggembalaan terhadap
jemaat Pugeran yang ketika itu masuk dalam wilayah pelayanan GKJ Watusigar.
2.
Pertumbuhan dan Perkembangan (Tahun 1980 – 2000)
Jemaat Pugeran
mengalami pasang dan surut baik dalam jumlah warga maupun para pelaku
pelayanan. Sampai tahun 1979 yang
mengasuh jemaat setempat praktis hanya Pranoto
Siswoyo dan dibantu Amirejo yang
mengajar anak-anak Sekolah Minggu.
a.
Musik Bambu sebagai Media Kesaksian
Pranoto Siswoyo
sangat tegas dan keras serta disiplin ketat.
Beliaulah yang mengharuskan pengakuan
Iman Rasuli disuarakan dengan keras sebagai pengakuan iman Kristen.
Sebagai seorang guru, Pranoto Siswoyo selain mempunyai
kemampuan mengajar ia juga mempunyai kreatifitas tinggi. Untuk mendukung
penginjilan diciptakannya sebuah musik tradisional yang dikenal dengan nama Pek
Bung. Alat musiknya terdiri dari tiga buah. Pertama gendang yang terbuat dari sepasang Kelenthing (alat untuk mengambil
air) yang lobangan dibalutkan sepotong lulang (kulit binatang). Alat yang kedua
sepasang bas, yang dibuat dari
potongan bambu besar sepanjang kira-kira satu meter dan di dalamnya diberi
bambu yang ukurannya lebih kecil yang kalau ditiup akan mengeluarkan bunyi bung. Sedangkan alat yang ketiga adalah
sepasang Kocek (ecek-ecek). Alat ini dibuat dari batok kelapa yang kecil dan di
dalamnya diberi kerikil dan kemudian diberi pegangan.
Setiap perayaan natal
adalah saat yang sangat menyenangkan bagi semua jemaat dan masyarakat
sekitarnya. Karena Natal selalu dirayakan dengan disertai pentas seni. Dalam
pentas seni inilah group musik Pek Bung
ditampilkan. Selain untuk
mengiringi para penyanyi, juga untuk mengiringi gerak tari-tarian. Alat musik
sederhana ini mudah dimainkan dan menimbulkan suasana gembira, maka banyak
orang yang tertarik menyaksikannya.
Di tengah masyarakat
yang haus hiburan, pentas seni dengan musik tradisional ini sangat memberi
hiburan. Dan sangat efektif sebagai media kesaksian di tengah masyarakat. Group
kesenian gereja tidak hanya pentas di wilayah Pugeran tetapi juga memenuhi
undangan jemaat di tempat lain. Pada tahun 1970-an jemaat Pugeran mempunyai
peranan yang besar di tengah masyarakatnya. Dan banyak orang tertarik untuk
menjadi Kristen. Selain itu pentas seni juga menampilkan kesenian tradisional
lainnya seperti kethoprak dan wayang kulit.
b.
Amir Rejo, Guru Sekolah Minggu Seumur Hidup
Nama lengkapnya Amirejo. Anak-anak sering memanggilnya Mbah Amir. Beliau sangat sayang kepada anak-anak.
Bagi Mbah Amir, anak-anak begitu penting di
hadapan Allah dan oleh sebab itu harus dibina sejak kecil demi masa depan
jemaat dan gereja. Ketika anggota jemaat
lain belum berpikir untuk menjadi guru Sekolah Minggu, beliau tampil sebagai
pelopor dan perintis diadakannya Sekolah Minggu.
Mbah Amir mulai mengajar anak-anak
Sekolah Minggu kira-kira mulai tahun 1950. Mbah
Amir mengajar anak Sekolah
Minggu selama 40 tahun. Umur yang sangat
tua dengan tubuh yang sudah agak bungkuk serta suara yang tidak keras lagi
beliau tetap mempunyai semangat mengajar.
Beliau berhenti mengajar karena memang sudah tidak kuat lagi, fisiknya
sudah lemah. Mbah Amir menjadi guru
Sekolah Minggu sampai usia tuanya Beliau berhenti mengajar anak Sekolah Minggu
pada tahun 1990.
Mbah Amir merupakan pelopor adanya
Sekolah Minggu di Pugeran, beliau mempunyai kelebihan yang jarang bahkan tidak
dipunyai guru Sekolah minggu muda. Walaupaun sendiri dan tanpa alat musik mampu
menumbuhkan semangat kepada anak-anak untuk datang ke sekolah minggu.
c.
Tumbuhnya Sekolah Minggu dan Bangkitnya Pemuda
Pada tahun 1980
Sekolah Dasar Negeri Payaman II mendapat seorang Guru Pendidikan Agama Kristen,
yaitu Parjiyodari Pakem,
Yogyakarta. Walau tidak menetap, guru
agama inilah yang membangkitkan semangat palayanan untuk anak-anak dan
pemuda.
Sejak kehadiran Parjiyo jemaat Pugeran mempunyai gairah
baru. Beliau membuka pemahaman Alkitab bagi jemaat dewasa, pemuda dan
anak-anak. Kegiatan pemeliharaan iman
dilakukan dengan tertib, yaitu melalui Bible
Kring untuk jemaat dewasa. Pemahaman
Alkitab Pemuda dan persekutuan doa bagi anak-anak Sekolah Minggu.
Sebelum Tahun 1980
masing-masing pepantan boleh dikatakan hidup sendiri-sendiri. Tidak pernah ada kegiatan secara bersama-sama. Hal ini
disebabkan karena faktor geografis yang berjauhan wilayah satu dengan lainnya.
Selain itu tidak adanya alat transportasi juga menjadi kendala. Tahun 1982 diadakan Natal pemuda se- GKJ
Watusigar di SMP BOPKRI Semin yang dihadiri sekitar 200 pemuda. Pertemuan
pemuda yang pertama kali ini menghasilkan kesepakatan untuk mengadakan kegiatan
rutin pemuda di tingkat GKJ. Pada tahun ini adalah tahun kebangkitan pemuda.
Sejak kegiatan Pemahaman
Alkitab bertumbuh maka timbul juga kerinduan para pemuda untuk terlibat dalam
pelayanan. Tahun 1985 mulai ada pemuda yang berani menjadi guru Sekolah Minggu.
Pemuda Pugeran yang pertama menjadi guru Sekolah Minggu menemani mbah Amirejo adalah Ramlan Dumadi. Keberaniannya kemudian diikuti oleh para pemuda
lainnya, Eko Pambudi,Sukamto, Tasiyo, Warsito,Heru Widiyanto, Supriyo Hadi,
Anto, Pono. Sementara itu di pepantan lain juga mulai dibuka kelas SM yang
ditangani para pemuda. Di Sumberejo yang menjadi guru Sekolah MingguSukamto, Bartolomeus Sujarwo, Marino; Semin dilayani oleh Sukarmiyo, Wasino.Dalam perkembangan selanjutnya hampir setiap pemuda terlibat
dalam pelayanan Sekolah Minggu. Semboyan yang terkenal adalah setiap pemuda
adalah guru sekolah Minggu.
Di Pugeran keberadaan
Sekolah Minggu menjadi sarana bertumbuh dan bertambahnya jemaat. Tidak jarang anak-anak non Kristen bergabung menjadi
murid Sekolah Minggu. Dan anak-anak inilah yang menarik orang tua mereka untuk
mengikut Kristus. Dengan demikian pertambahan jemaat banyak terjadi dari
anak-anak.
3. Gereja Dewasa (Tahun 2000 – 2006)
a. Temu Pelaku Pelayanan
Jemaat
kecil yang awalnya jemaat keluarga terus berkembang menjadi besar. Jemaat
Watusigar di kecamatan Ngawen yang mulai ada tahun 1926 dan Pugeran di
kecamatan Semin yang sejak tahun 1928 ada orang Kristen tergabung dalam wilayah
pelayanan GKJ Watusigar telah menjadi 16 wilayah pada tahun 1989 dengan jemaat
dewasa lebih dari seribu orang.
Jumlah jemaat yang besar dengan
banyak tempat ibadah yang harus dilayani serta wilayah geografis yang luas
menjadi pertimbangan Majelis GKJ Watusigar untuk mendewasakan sebagian
pepantannya yang berada di sebelah Timur.
Proses pendewasaan di
awali dengan berbagai kegiatan untuk menyatukan visi dan misi para pelaku
pelayanan. Gereja mengadakan ‘Temu Pelaku Pelayanan’ bagi Majelis, Komisi,
Pengurus Kring dengan mendatangkan penceramah dari luar, antara lain Pdt.
Broto Semedi Wiryotenoyo, S. Th (GKJ Sidomukti-Salatiga),Drs.
Bambang Subandriyo, M,Th(GKJ Mergangsan-YK), Pdt. Bambang Subagyo, S.Th (GKJ
Ambarukmo-YK). Dalam kegiatan tersebut pemuda mempunyai peran melalui redaksi
Buletin TALENTA, Media Komunikasi & Informasi Pelayanan GKJ Watusigar.
Majelis memberi tugas redaksi untuk menjadi pelaksana kegiatan ini. Para
redaksi itu adalah Yehezkiel Eko Pambudi, Agustinus Sukamto,
Yosafat Marsoyo, Bartolomeus Sujarwo, Albertus Dwi Santoso dan Pujo Kristanto.
b. Pugeran menjadi Gereja Dewasa
Temu Pelaku pelayanan
yang diadakan setiap tahun sekali berlangsung sampai enam kali. Dari kegiatan
ini para pelaku pelayanan GKJ Watusigar sepakat bahwa untuk meningkatkan
pelayanan maka jemaat di wilayah Timur harus didewasakan. Pada tahun 1998 Jemat
membentuk Panitia Persiapan Pendewasaan Jemaat yang diketuai Edy
Suwarno yang mempunyai tugas untuk mempersiapkan proses pendewasaan
dengan pendampingan Deputat Klasis Gunungkidul.
Pertumbuhan dan
perkembangan terus berlangsung sampai akhirnya pepantan Pugeran, Payaman, Semin
Candirejo, Sempu dan Sumberejo didewasakan pada tanggal 31 Oktober 1999. Pendewasaan GKJ Pugeran ditandai dengan
kebaktian pendewasaan dengan meneguhkan 24 orang majelis yang terdiri dari 17
orang penatua dan 7 orang diaken.
Setelah menjadi gereja
yang dewasa dengan semangat untuk menjadi gereja reformasi yang selalu
mereformasi diri, GKJ Pugeran dengan segala potensi mulai menyatukan langkah,
menata diri dan menyusun program ke depan.
c. Pemanggilan Pendeta
GKJ Pugeran menyadari kebutuhannya akan
kehadiran pendeta untuk bisa menjadi gereja yang dewasa penuh. Kehadiran Pendeta jemaat yang diharapkan akan
semakin memperkuat dan mengintensifkan pelayanan. Pada tahun 2000 proses
pemanggilan dimulai dengan membentuk tim pemanggilan Pendeta yang terdiri dari
11 orang, yang dikenal dengan sebutan Tim Sebelas.
Perjalanan pemanggilan Pendeta juga
merupakan pergumulan yang tak terlupakan bagi jemaat GKJ Pugeran, berkali-kali
proses yang dilakukan mengalami kegagalan sehingga menjadikan jemaat ini
menjadi semakin dewasa, yang kemudian memahami bahwa antara jemaat dan pendeta
adalah ibarat berjodoh. Dan setelah lima
tahun program berjalan melalui empat kali proses pemanggilan dengan melalui
berbagai hambatan dan tantangan, akhirnya GKJ Pugeran menemukan jodohnya, yaitu
Anugrah Kristian, S.Si. yang
ditahbiskan pada Hari Sabtu Kliwon, 30 Oktober 2004.
Dari sejarah GKJ Pugeran di atas dapat
dilihat bagaimana warga jemaat GKJ Pugeran dalam sejarahnya mengalami
perkembangan pemikiran dari hal-hal yang sederhana sampai hal-hal yang
menunjukan kedewasaan warga jemaat dalam menjalankan hidup bergereja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar