Saya akan mengajak anda bertukar pemikiran dan membantu dalam segala permasalahan hidup. Kami akan memberi dukungan, infomasi, dan penyelesaian masalah yang paling tepat.

Sabtu, 05 November 2016

SEJARAH BERDIRINYA GEREJA KRISTEN JAWA PUGERAN


Mengingat Kembali
SEJARAH BERDIRINYA GEREJA KRISTEN JAWA PUGERAN


               
Minggu Wage, 31 Oktober 1999, bertepatan hari Reformasi Gereja, Jemaat Pugeran yang merupakan pepanthan dari GKJ Watusigar, bersama pepanthan lainnya, yaitu: Semin, Sumberejo, Candirejo, Sempu dan Payaman didewasakan oleh Majelis GKJ Watusigar untuk menjadi Gereja Dewasa dengan nama GEREJA KRISTEN JAWA PUGERAN.
                Dengan peristiwa pendewasaan tersebut jemaat Pugeran memulai kehidupan yang baru sebagai gereja dewasa yang telah memiliki Majelis sendiri dan harus mampu menanggung semua jenis tanggung jawab dalam hal Pekabaran Injil dan pemeliharaan warga gereja serta mampu menyelenggarakan organisasi gerejanya sendiri yang terpisah dari gereja induknya yaitu GKJ Watusigar. Inilah sejarah Gereja Kristen Jawa Pugeran.

1. Jemaat Mula-mula ( Tahun 1928 – 1980 )
a. Mukjizat Kesembuhan oleh Seorang Dukun
                Diawali dengan mujizat kesembuhan seorang anak yang bernama Mardi.  Sepulang dari menggembalakan sapi, sebelum semua sapinya masuk kandang ia mengalami kejang-kejang dengan mulut berbuih. Penyakitnya itu sering kambuh dan segala daya upaya telah dilakukan, termasuk minta pertolongan kepada dukun tetapi hasilnya nihil, anak itu tidak kunjung sembuh.
Kertodikromo dan Surem, kedua orangtuanya sudah pasrah melihat keadaan anaknya yang nomor dua itu. Dalam situasi bingung itu mereka mendengar berita bahwa di Wuryantoro ada seorang dukun yang bisa menyembuhkan orang sakit. Mereka pun datang ke Wuryantoro minta pertolongan kepada dukun tersebut dan memohon supaya ia berkenan datang di Pugeran untuk menyembuhkan anaknya.
Dukun itu bernama Mangun Suwito yang lebih dikenal dengan panggilan mbah Lurah Bethek, sesuai dengan nama dusun tempat ia tinggal yaitu di Bethek wilayah Wuryantoro, Wonogiri. Beliau oleh masyarakat dianggap sebagai orang pinter. Masyarakat sekitar menganggap ia adalah seorang dukun, orang yang mempunyai kemampuan linuwih mampu menyembuhkan orang sakit dan mempunyai banyak ilmu. 
Mangun Suwito berkenan hadir di Pugeran, untuk menyembuhkan Mardi. Dengan mengucapkan doa ia berkata kepada anak yang sudah tiga hari tidak makan dan minum itu, “Bangunlah nak!”. Orang-tua Mardi heran melihat cara yang dilakukan dukun itu. Mereka semakin kuatir akan keadaan anaknya yang semakin kritis. Bahkan mereka sempat meragukan kemampuan sang dukun.
Cara yang dilakukan Mangun Suwito memang berbeda dengan cara penyembuhan yang dilakukan oleh dukun-dukun lainnya pada masa itu. Mangun Suwito ini tidak menggunakan jampi-jampi atau mantera-mantera. Juga tidak membakar kemenyan seperti lazimnya cara praktek seorang dukun. Dukun dari Bethek, Wuryantoro ini menyembuhkan dengan doa dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Ternyata Mbah Lurah dari Bethek ini adalah orang Kristen. 
Setelah diobati oleh dukun tersebut Mardi menjadi sembuh. Mukjizat telah terjadi. Karya penyelamatan Allah dinyatakan melalui seorang dukun. Penyakit Mardi tidak pernah kambuh lagi, ia mengalami kesembuhan secara total. Karena terharu dan terkesannya orang tua Mardi terhadap peristiwa kesembuhan anaknya, ia kemudian menyerahkan Mardi kepada Mbah Lurah Bethek untuk diakui sebagai anak angkat.
Kertodikromo dan Surem menjadi penasaran dan bertanya-tanya, apakah gerangan ilmu yang dimiliki Mangun Suwito itu. Kertodikromo dan Surem, isterinya lalu mencari tahu dan berguru kepada Mangun Suwito. Mereka berdua akhirnya mendapat pengajaran agama Kristen dari Mangun Suwito. Kardin, kakak dari Surem isteri Kertodikromo, akhirnya juga bergabung untuk berguru kepada Mangun Suwito setelah mendapat ajakan dari orang tua Mardi tersebut. Pengajaran dilakukan di rumah Kertodikromo, Pugeran.
Dari dua keluarga ini, yaitu keluarga Kertodikromo dan keluarga KardinMartodikromo, Injil bertumbuh dan berkembang di wilayah Pugeran. Kertodikromo mempunyai enam orang anak, yaitu Wongsodikromo, Mardisiswoyo (yang mengalami kesembuhan), Paiman Martoatmojo, Samikem Pranotosiswoyo, Sami Resopawiro, Kasih Purwowiyonoyang kesemuanya menjadi orang Kristen.
b. Bertobatnya Seorang Dukun Sakti
                        Peristiwa kesembuhan seorang anak itu menjadikan orang Pugeran tetarik untuk berguru kepada Mangun Suwito. Demikian juga ada seorang dukun yang bernama Kardintertarik untuk berguru untuk memperdalam ilmunya.
Selain dikenal sebagai dukun ia adalah seorang tokoh yang sangat disegani masyarakat Pugeran dan sekitarnya karena suka menolong melalui ilmu yang ia miliki. Bahkan dengan cara aneh. Untuk menolong masyarakat sekaligus untuk membuktikan kesaktian ilmunya, ia tidak segan-segan sering melakukan pencurian terhadap orang-orang kaya. Hasil pencurian itu tidak dimanfaatkan sendiri, melainkan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang membutuhkan, yaitu mereka yang miskin. Karena kebiasaannya ini Kardin dikenal juga sebagai Maling Gentiri, sebutan orang Jawa untuk orang yang melakukan pencurian bagi kepentingan sesamanya.
                                Keinginannya untuk selalu menjadi nomor satu dan paling digdaya dalam ilmu akhirnya membawa Kardin tertarik belajar kepada Mangun Suwito, seorang dukun yang ia kenal dari peristiwa kesembuhan Mardi. Kardin pun belajar dan menjadi murid Mangun Suwito. Ia bersama beberapa orang Pugeran lainnya mulai belajar ilmu dari Mangun Suwito. 
‘Ilmu’ yang diajarkannya ternyata ilmu berserah diri penuh dan percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Pokok-pokok yang diajarkan kepada murid yang berguru untuk dipegang teguh adalah Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, Hukum Kasih dan Hukum Sepuluh.
                Sejak belajar ilmu baru ini, Kardin menemukan ilmu yang benar-benar sakti.Beliau menamakan sebagai ilmu sejati. Semua ilmu yang telah dimiliki ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan ilmu yang bersumber Kitab Suci yang diajarkan Mangun Suwito. Ia mulai mendalami ilmu yang baru ini. Dan ia pun bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus. Hidupnya berubah. Semua ilmu yang lama dibuang karena telah menemukan ilmu yang sejati. Bagi Kardin sekarang sumber dari segala ilmu adalah Yesus Kristus dan Kitab Suci. Ia bersama Kinem, isterinya serta anak-anaknya menjadi Kristen. Anak dari Kardin adalah Kadil, Nurhadi, Samadi, Mento Kusi, Kasman, Kasno, Musa dan Katin Subyantoro.
                Walaupun sudah menjadi Kristen, Kardin pada masa tuanya bernama lengkap Martodikromo, tetapi lebih dikenal dengan nama Marto Kadil, tetap senang menolong sesamanya. Dari seorang dukun sakti berubah menjadi menjadi dukun yang bersaksi tentang Kristus. Ia bersaksi dengan kemampuannya menyembuhkan orang yang sakit dalam nama Yesus dan mengusir setan dari tempat-tempat yang dianggap keramat oleh masyarakat pada waktu itu.
Setelah bertobat ia berhenti dari kebiasaannya mencuri. Marto Kadil tidak ingin lagi membuktikan kehebatan ilmunya sendiri. Sekarang ia membuktikan bahwa ilmu sejati, yaitu Yesus Kristus itu yang paling hebat. Marto Kadil mendidik dan mengajarkan kepada anak-anaknya tentang saktinya Yesus Kristus. Dialah yang mulai mengembangkan kekristenan di Pugeran dengan talenta yang dimilikinya. 



c. Cikal Bakal Jemaat Pugeran
                                Murid Mbah Lurah yang mula-mula hanya keluarga Kertodikromo dan keluarga Martodikromo semakin banyak. Ada delapan keluarga lagi yang mengikuti pelajaran agama Kristen yang dilakukan Mangun Suwito di rumah Kertodikromo. Mereka itu adalahTarjo, Kromontika, Singo Drono, Sopawiro, Karsomo, Sodikromo, Mentodikromo dan Merto Menggolo.  Mereka inilah yang menjadi cikal bakal Jemaat Kristen di Pugeran. 
d. Pengasuh Mula-Mula
                                Jemaat Kristen Pugeran tumbuh dan berkembang atas bimbingan para guru Injil yang saat itu mempunyai peran sangat besar.
Guru Injil yang pertama yang melayani di Pugeran adalah Atmo Suwito dari Watusigar.  Kemudian diganti oleh  Dirdjo Supono dari Kulonprogo.  Guru Injil Pranoto Hadi dari Pakem adalah yang keempat.  Yang kemudian diganti oleh Rekso Atmodjo juga dari Pakem pada tahun 1940. Pada tahun 1946 Sapari dari Yogyakarta menggantikan Rekso Atmodjo. Setelah itu Padmo Wihardjo dari Wiladeg menjadi guru Injil di Pugeran sampai tahun 1948 yang kemudian diganti oleh Singkir dari Candi, Karangmojo. 
Sejak tahun 1950 tidak ada lagi guru Injil yang melayani jemaat Pugeran. Pelayanan dilanjutkan oleh Pranoto Siswoyo, seorang guru SD asal Wuryantoroyang mengajar di SD Negeri Rejosari. Ia tinggal di Pugeran di rumah Pranoto Hadi guru Injil ketiga Pugeran, yang adalah kakak iparnya. Pranoto Siswoyo berasal dari Wuryantoro. Awalnya ia belum menjadi Kristen. Ia menjadi Kristen setelah tinggal di rumah Pranoto Hadi. Pranoto Siswoyo ini akhirnya mempunyai isteri asal Pugeran, anak yang ke empat Kertodikromo yang bernama Samikem.
                    Pada masa itu pelayanan firman seminggu sekali. Kebaktian Minggu dilakukan di rumah warga jemaat, yaitu di rumah Kertodikromo, orang tua Mardi. Pelayanan Perjamuan Kudus tiga bulan sekali dan dilayani oleh Pendeta asal Belanda yang bernama Van Allard dari Yogyakarta. Karena kondisi geografis saat itu Pugeran masih sulit dijangkau. Perjamuan Kudus sering tidak dapat terlaksana, Pendeta tidak dapat sampai di tempat ibadah, karena terhalang aliran Sungai Gerang yang bila musim hujan sering banjir.
                                Dengan peristiwa di atas dan juga adanya kerinduan jemaat akan pentingnya pelayanan firman dan Perjamuan Kudus, timbullah pemikiran untuk membuat tempat ibadah di sebelah barat Sungai Gerang supaya Pendeta tidak terhambat pelayanannya.
Ada seorang jemaat yang bernama Merto Menggolo, anak dari SutoMenggolo, lurah yang pertama di  Karangsari, yang mempersembahkan sebidang tanah yang terletak di Dusun Kerdon, sebelah barat dusun Pugeran. Ia berharap di tanah itu dapat dibangun gedung gereja dan rumah tinggal bagi guru Injil yang melayani di Pugeran. Suatu saat Merto Menggolo melakukan tapa ngebleng di tempuran sungai Oyo dan sungai Gerang selama seminggu. Setelah selesai bertapa ia menebangi beberapa pohon kelapa untuk membangun gereja. Apa yang ia lakukan ini sangat mengejutkan, orang mengira ia tidak waras. Ia mengambil keputusan secara tiba-tiba.
Kerinduan untuk mendapat pelayanan yang maksimal terutama pelayanan perjamuan kudus mendorong jemaat untuk membangun tempat ibadah. Di tanah yang dipersembahkannya Merto Menggolo bersama jemaat bergotong royong membangun tempat ibadah. Dan berdirilah sebuah tempat ibadah darurat dari kayu berdindingkan gedhek.maka lancarlah ibadah minggu dan perjamuan kudus. Sementara itu untuk tempat tinggal guru Injil didirikan sebuah rumah di belakang gereja. Rumah ini persembahan dari keluarga Kertodikromo.



e. Bergabung Dengan GKJ Watusigar
                                Pada awalnya jemaat Pugeran adalah bagian dari wilayah pelayanan GKJ Wonosari. Sehubungan dengan masuknya Kecamatan Ngawen menjadi wilayah Gunungkidul pada tahun 1957 dan bergabungnya GKJ Watusigar dengan gereja-gereja di Gunungkidul pada tahun 1959, ada pembagian wilayah pelayanan. Pugeran  dan Tambran yang merupakan pepanthan dari GKJ Wonosari dimasukkan ke dalam wilayah GKJ Watusigar.  Sejak saat itu pepanthan Pugeran menjadi bagian dari GKJ Watusigar, demikian juga dalam pelayanannya.
Pada tahun 1970 GKJ Watusigar memanggil pendeta yang bernama Sugeng Dwi Sindu Prayitnoyang berasal dari Tanjung Tirto. Beliau inilah yang meneruskan pekabaran Injil di wilayah Pugeran dan sekitarnya.
Hanya satu tahun Sugeng Dwi Sindu Prayitno menjadi pendeta GKJ Watusigar. Berpindahnya pendeta menjadikan kurangnya pemeliharaan iman jemaat. Akibatnya sebagian jemaat ada yang meninggalkan gereja dan kembali kepada kepercayaan yang lama.
Setelah empat tahun tidak berpendeta, pada tahun 1975 GKJ Watusigar memanggil Otniel Ngatiyus Wignyo Nugroho, asal Watusigar menjadi Pendeta. Beliau ini yang meneruskan penggembalaan terhadap jemaat Pugeran yang ketika itu masuk dalam wilayah pelayanan GKJ Watusigar.
2. Pertumbuhan dan Perkembangan (Tahun 1980 – 2000)
Jemaat Pugeran mengalami pasang dan surut baik dalam jumlah warga maupun para pelaku pelayanan.  Sampai tahun 1979 yang mengasuh jemaat setempat praktis hanya Pranoto Siswoyo dan dibantu Amirejo yang mengajar anak-anak Sekolah Minggu.
a. Musik Bambu sebagai Media Kesaksian
Pranoto Siswoyo sangat tegas dan keras serta disiplin ketat.  Beliaulah yang mengharuskan pengakuan Iman Rasuli disuarakan dengan keras sebagai pengakuan iman Kristen.
Sebagai seorang guru, Pranoto Siswoyo selain mempunyai kemampuan mengajar ia juga mempunyai kreatifitas tinggi. Untuk mendukung penginjilan diciptakannya sebuah musik tradisional yang dikenal dengan nama Pek Bung. Alat musiknya terdiri dari tiga buah. Pertama gendang yang terbuat dari sepasang Kelenthing (alat untuk mengambil air) yang lobangan dibalutkan sepotong lulang (kulit binatang). Alat yang kedua sepasang bas, yang dibuat dari potongan bambu besar sepanjang kira-kira satu meter dan di dalamnya diberi bambu yang ukurannya lebih kecil yang kalau ditiup akan mengeluarkan bunyi bung. Sedangkan alat yang ketiga adalah sepasang Kocek (ecek-ecek). Alat ini dibuat dari batok kelapa yang kecil dan di dalamnya diberi kerikil dan kemudian diberi pegangan.
Setiap perayaan natal adalah saat yang sangat menyenangkan bagi semua jemaat dan masyarakat sekitarnya. Karena Natal selalu dirayakan dengan disertai pentas seni. Dalam pentas seni inilah group musik Pek Bung ditampilkan. Selain untuk mengiringi para penyanyi, juga untuk mengiringi gerak tari-tarian. Alat musik sederhana ini mudah dimainkan dan menimbulkan suasana gembira, maka banyak orang yang tertarik menyaksikannya.
Di tengah masyarakat yang haus hiburan, pentas seni dengan musik tradisional ini sangat memberi hiburan. Dan sangat efektif sebagai media kesaksian di tengah masyarakat. Group kesenian gereja tidak hanya pentas di wilayah Pugeran tetapi juga memenuhi undangan jemaat di tempat lain. Pada tahun 1970-an jemaat Pugeran mempunyai peranan yang besar di tengah masyarakatnya. Dan banyak orang tertarik untuk menjadi Kristen. Selain itu pentas seni juga menampilkan kesenian tradisional lainnya seperti kethoprak dan wayang kulit.
b. Amir Rejo, Guru Sekolah Minggu Seumur Hidup
Nama lengkapnya Amirejo. Anak-anak sering memanggilnya Mbah Amir.  Beliau sangat sayang kepada anak-anak. 
                                Bagi Mbah Amir, anak-anak begitu penting di hadapan Allah dan oleh sebab itu harus dibina sejak kecil demi masa depan jemaat dan gereja.  Ketika anggota jemaat lain belum berpikir untuk menjadi guru Sekolah Minggu, beliau tampil sebagai pelopor dan perintis diadakannya Sekolah Minggu.
                                Mbah Amir mulai mengajar anak-anak Sekolah Minggu kira-kira mulai tahun 1950. Mbah Amir mengajar anak Sekolah Minggu selama 40 tahun.  Umur yang sangat tua dengan tubuh yang sudah agak bungkuk serta suara yang tidak keras lagi beliau tetap mempunyai semangat mengajar.  Beliau berhenti mengajar karena memang sudah tidak kuat lagi, fisiknya sudah lemah. Mbah Amir menjadi guru Sekolah Minggu sampai usia tuanya Beliau berhenti mengajar anak Sekolah Minggu pada tahun 1990.
                               
                                Mbah Amir merupakan pelopor adanya Sekolah Minggu di Pugeran, beliau mempunyai kelebihan yang jarang bahkan tidak dipunyai guru Sekolah minggu muda. Walaupaun sendiri dan tanpa alat musik mampu menumbuhkan semangat kepada anak-anak untuk datang ke sekolah minggu.  


c. Tumbuhnya Sekolah Minggu dan Bangkitnya Pemuda 
                                Pada tahun 1980 Sekolah Dasar Negeri Payaman II mendapat seorang Guru Pendidikan Agama Kristen, yaitu Parjiyodari Pakem, Yogyakarta.  Walau tidak menetap, guru agama inilah yang membangkitkan semangat palayanan untuk anak-anak dan pemuda. 
Sejak kehadiran Parjiyo jemaat Pugeran mempunyai gairah baru. Beliau membuka pemahaman Alkitab bagi jemaat dewasa, pemuda dan anak-anak.  Kegiatan pemeliharaan iman dilakukan dengan tertib, yaitu melalui Bible Kring untuk jemaat dewasa.  Pemahaman Alkitab Pemuda dan persekutuan doa bagi anak-anak Sekolah Minggu. 
Sebelum Tahun 1980 masing-masing pepantan boleh dikatakan hidup sendiri-sendiri. Tidak pernah ada kegiatan secara bersama-sama. Hal ini disebabkan karena faktor geografis yang berjauhan wilayah satu dengan lainnya. Selain itu tidak adanya alat transportasi juga menjadi kendala. Tahun 1982 diadakan Natal pemuda se- GKJ Watusigar di SMP BOPKRI Semin yang dihadiri sekitar 200 pemuda. Pertemuan pemuda yang pertama kali ini menghasilkan kesepakatan untuk mengadakan kegiatan rutin pemuda di tingkat GKJ. Pada tahun ini adalah tahun kebangkitan pemuda.
Sejak kegiatan Pemahaman Alkitab bertumbuh maka timbul juga kerinduan para pemuda untuk terlibat dalam pelayanan. Tahun 1985 mulai ada pemuda yang berani menjadi guru Sekolah Minggu. Pemuda Pugeran yang pertama menjadi guru Sekolah Minggu menemani mbah Amirejo adalah Ramlan Dumadi. Keberaniannya kemudian diikuti oleh para pemuda lainnya, Eko Pambudi,Sukamto, Tasiyo, Warsito,Heru Widiyanto, Supriyo Hadi, Anto, Pono. Sementara itu di pepantan lain juga mulai dibuka kelas SM yang ditangani para pemuda. Di Sumberejo yang menjadi guru Sekolah MingguSukamto, Bartolomeus Sujarwo, Marino; Semin dilayani oleh Sukarmiyo, Wasino.Dalam perkembangan selanjutnya hampir setiap pemuda terlibat dalam pelayanan Sekolah Minggu. Semboyan yang terkenal adalah setiap pemuda adalah guru sekolah Minggu.
Di Pugeran keberadaan Sekolah Minggu menjadi sarana bertumbuh dan bertambahnya jemaat. Tidak jarang anak-anak non Kristen bergabung menjadi murid Sekolah Minggu. Dan anak-anak inilah yang menarik orang tua mereka untuk mengikut Kristus. Dengan demikian pertambahan jemaat banyak terjadi dari anak-anak. 


3.  Gereja Dewasa (Tahun 2000 – 2006)
a. Temu Pelaku Pelayanan
                                Jemaat kecil yang awalnya jemaat keluarga terus berkembang menjadi besar. Jemaat Watusigar di kecamatan Ngawen yang mulai ada tahun 1926 dan Pugeran di kecamatan Semin yang sejak tahun 1928 ada orang Kristen tergabung dalam wilayah pelayanan GKJ Watusigar telah menjadi 16 wilayah pada tahun 1989 dengan jemaat dewasa lebih dari seribu orang.
                Jumlah jemaat yang besar dengan banyak tempat ibadah yang harus dilayani serta wilayah geografis yang luas menjadi pertimbangan Majelis GKJ Watusigar untuk mendewasakan sebagian pepantannya yang berada di sebelah Timur.
Proses pendewasaan di awali dengan berbagai kegiatan untuk menyatukan visi dan misi para pelaku pelayanan. Gereja mengadakan ‘Temu Pelaku Pelayanan’ bagi Majelis, Komisi, Pengurus Kring dengan mendatangkan penceramah dari luar, antara lain Pdt. Broto Semedi Wiryotenoyo, S. Th (GKJ Sidomukti-Salatiga),Drs. Bambang Subandriyo, M,Th(GKJ Mergangsan-YK), Pdt. Bambang Subagyo, S.Th (GKJ Ambarukmo-YK). Dalam kegiatan tersebut pemuda mempunyai peran melalui redaksi Buletin TALENTA, Media Komunikasi & Informasi Pelayanan GKJ Watusigar. Majelis memberi tugas redaksi untuk menjadi pelaksana kegiatan ini. Para redaksi itu adalah Yehezkiel Eko Pambudi, Agustinus Sukamto, Yosafat Marsoyo, Bartolomeus Sujarwo, Albertus Dwi Santoso dan Pujo Kristanto.
b. Pugeran menjadi Gereja Dewasa
Temu Pelaku pelayanan yang diadakan setiap tahun sekali berlangsung sampai enam kali. Dari kegiatan ini para pelaku pelayanan GKJ Watusigar sepakat bahwa untuk meningkatkan pelayanan maka jemaat di wilayah Timur harus didewasakan. Pada tahun 1998 Jemat membentuk Panitia Persiapan Pendewasaan Jemaat yang diketuai Edy Suwarno yang mempunyai tugas untuk mempersiapkan proses pendewasaan dengan pendampingan Deputat Klasis Gunungkidul.
Pertumbuhan dan perkembangan terus berlangsung sampai akhirnya pepantan Pugeran, Payaman, Semin Candirejo, Sempu dan Sumberejo didewasakan pada tanggal 31 Oktober 1999.  Pendewasaan GKJ Pugeran ditandai dengan kebaktian pendewasaan dengan meneguhkan 24 orang majelis yang terdiri dari 17 orang penatua dan 7 orang diaken. 
Setelah menjadi gereja yang dewasa dengan semangat untuk menjadi gereja reformasi yang selalu mereformasi diri, GKJ Pugeran dengan segala potensi mulai menyatukan langkah, menata diri dan menyusun program ke depan.
c.  Pemanggilan Pendeta
                                 GKJ Pugeran menyadari kebutuhannya akan kehadiran pendeta untuk bisa menjadi gereja yang dewasa penuh.  Kehadiran Pendeta jemaat yang diharapkan akan semakin memperkuat dan mengintensifkan pelayanan. Pada tahun 2000 proses pemanggilan dimulai dengan membentuk tim pemanggilan Pendeta yang terdiri dari 11 orang, yang dikenal dengan sebutan Tim Sebelas.
                                Perjalanan pemanggilan Pendeta juga merupakan pergumulan yang tak terlupakan bagi jemaat GKJ Pugeran, berkali-kali proses yang dilakukan mengalami kegagalan sehingga menjadikan jemaat ini menjadi semakin dewasa, yang kemudian memahami bahwa antara jemaat dan pendeta adalah ibarat berjodoh.  Dan setelah lima tahun program berjalan melalui empat kali proses pemanggilan dengan melalui berbagai hambatan dan tantangan, akhirnya GKJ Pugeran menemukan jodohnya, yaitu Anugrah Kristian, S.Si. yang ditahbiskan pada Hari Sabtu Kliwon, 30 Oktober 2004.
                                Dari sejarah GKJ Pugeran di atas dapat dilihat bagaimana warga jemaat GKJ Pugeran dalam sejarahnya mengalami perkembangan pemikiran dari hal-hal yang sederhana sampai hal-hal yang menunjukan kedewasaan warga jemaat dalam menjalankan hidup bergereja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar